Jumat, 08 November 2013

ENVIRONMENT IMPACT ANALYSIS (AMDAL)

BAB VII
ENVIRONMENT IMPACT ANALYSIS (AMDAL)

AMDAL (Analisis  Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
AMDAL digunakan untuk:
-          Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
-          Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
-          Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
-          Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
-          Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Prosedur AMDAL terdiri dari :
·         Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
·         Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
·         Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
·         Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

STUDI KASUS
Permasalahan klasik AMDAL seperti kegiatan konstruksi sudah dimulai sebelum izin lingkungannya terbit tetap terjadi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sudah tegas menyebutkan ada sanksi pidana bagi pelanggarnya tetap saja tanpa taji.

Kasus Hambalang adalah salah satunya. Meskipun izin lingkungannya belum ada karena dokumen AMDALnya belum kelar pembangunan tetap dilaksanakan. Berita terbaru Media Indonesia menyebutkan bahwa Kemenpora baru mengajukan permohonan kepada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor. Sementara itu, instansi yang bersangkutan melalui juru bicara Bupati Bogor, David Rizar Nugroho, mengatakan pihaknya saat ini belum mengeluarkan surat AMDAL untuk proyek Hambalang. Artinya AMDALnya memang belum selesai.

Kasus Hambalang bukan satu-satunya pelecehan terhadap UU 32/2009 tersebut. Pada Rakornas AMDAL beberapa tahun yang lalu, KLH mengeluhkan bahwa pelanggar-pelanggar tersebut kebanyakan adalah proyek-proyek pemerintah. KLH tidak bisa menghentikan kegiatan-kegiatan yang melanggar tersebut karena tidak memiliki kewnangan. Apalagi sebagian adalah kegiatan pembangunan infrastruktur yang sangat penting untuk masyarakat, seperti pelabuhan, jalan dan sebagainya.

Instansi teknis pelaksana proyek-proyek tersebut menganggap AMDAL sebagai penghambat pembangunan dan berlindung di balik alasan kepentingan masyarakat yang mendesak. Ketika proyek tersebut mendatangkan bencana, KLH selalu menjadi pihak yang disalahkan karena dinilai tidak memantau pelaksanaan AMDALnya dengan baik.
Dari kasus tersebut sangat ironis jika kita lihat bahwa pemerintah sendiri yag melanggar hukum yang ada. AMDAL didirikan untuk pengujian suatu proyek bangunan terhadap lingkungan kita. Apa dampak yang akan terjadi pada lingkungan tersebut. Akan tetapi dewasa ini semakin banyak saja pembangunanan yang tetap berlangsung tanpa persetujuan AMDAL. Sehingga menyebabkan lingkunga menjadi semakin tidak baik.
Padahal peraturan tersebut adalaha peraturan pemerintah dan yang melanggar pun sebagian besar adalah pemerintah. Maka sungguh ironis karena peraturan di Indonesia ini seolah hanya dibuat untuk dilanggar oleh oknum0oknum pembuatnya. Sehingga AMDAL serasa hanya sebuah lembaga yang tidak diketahui fungsinya secara tepat karena masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap AMDAL.

RESUME
            AMDAL dibuat secara umum untuk mengatur pola pembangunan yang terjadi pada suatu Negara. Amdal berfungsi untuk menganalisis apakah bangunan tersebut dapat dibangun atau tidak dan apa dampak kedepannya bagi lingkungan sekitar. Setiap proyek pembangunan dapat dilaksanakan apabila telah melalui proses amdal dan mendapatkan IMB oleh karena itu amdal sangat penting karena dengan adanya amdal ini suatu proyek pembangunan dapat terlaksana dengan memperhatika keadaan sekitarnya sehingga tidak merugikan lingkunan.

SUMBER:



PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN

BAB VI
PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN

Perencanaan fisik adalah suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik. Proses perencanaan fisik pembangunan harus melaksanakan amanat UUD 1945 Amandemen tentang pemilihan umum langsung oleh rakyat. Perencanaan pembangunan nasional masih dibutuhkan mengingat amanat Pembukaan UUD 1945 dan kondisi faktual geografis, sosial, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia yang beranekaragam, dan kompleks.
6.1 SKEMA PROSES PERENCANAAN


6.2   Sub Bidang Tata Ruang & Lingkungan
Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan mempunyai tugas antara lain sebagai berikut :
               Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di bidang tat ruang dan lingkungan.
               Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program Tata Ruang dan Lingkungan yang serasi.
               Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan Tata Ruang dan Lingkungan.
               Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan sub bidang Tata Ruang dan Lingkungan.
               Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
               Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
               Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.

6.3   Sub Bidang Prasarana Wilayah
Sub Bidang Prasarana Wilayah mempunyai tugas antara lain sebagai berikut,
               Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di Sub Budang Prasarana Wilayah
               Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program bidang Prasarana Wilayah
               Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan PU, Perumahan dan Perhubungan.
               Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
               Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
               Memberikan saran dan pertimbangan kepada aasan sesuai dengan bidang tugasnya.
               Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
Sistem perencanaan pembangunan nasional diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) telah mengakomodasi seluruh tuntutan pembaharuan sebagai bagian dari gerakan reformasi. Perencanaan pembangunan nasional harus dapat dilaksanakan secara terintegrasi, sinkron, dan sinergis baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
Rencana pembangunan nasional dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Kemudian,Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJM) yang berupa penjabaran visi dan misi presiden dan berpedoman kepada RPJP Nasional. Sedangkan untuk daerah, RPJM Nasional menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah (RPJMD).
Di tingkat nasional proses perencanaan dilanjutkan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang sifatnya tahunan dan sesuai dengan RPJM Nasional. Sedangkan di daerah juga disusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu kepada RKP.
Rencana tahunan sebagai bagian dari proses penyusunan RKP juga disusun oleh masing-masing kementerian dan lembaga dalam bentuk Rencana Kerja (Renja) Kementerian atau Lembaga dan di daerah Renja-SKPD disusun sebagai rencana tahunan untuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Rencana kerja atau Renja ini disusun dengan berpedoman kepada Renstra serta prioritas pembangunan yang dituangkan dalam rancangan RKP, yang didasarkan kepada tugas dan fungsi masing-masing instansi.

6.4 Peran Perencanaan dalam 4 lingkup :
·         Lingkup Nasional
·         Lingkup Regional
·         Lingkup Lokal
·         Lingkup Sektor Swasta
LINGKUP NASIONAL
Kewenangan semua instansi di tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral.
Departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah antara lain adalah :
·   Dept. Pekerjaan Umum
·   Dept. Perhubungan
·   Dept. Perindustrian
·   Dept. Pertanian
·   Dept. Pertambangan
·   Energi, Dept. Nakertrans.
        Dalam hubungan ini peranan Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting. Perencanaan fisik pada tingkat nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifik dan mendetail. Tetapi terbatas pada penggarisan kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
 Misalnya:
        suatu program subsidi untuk pembangunan perumahan atau program perbaikan kampung pada tingkat nasional tidak akan dibahas secara terperinci dan tidak membahas dampak spesifik program ini pada suatu daerah. Yang dibicarakan dalam lingkup nasional ini hanyalah, daerah atau kota yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dan studi kelayakan dalam skala yang luas. Jadi pemilihan dan penentuan daerah untuk pembangunan perumahan tadi secara spesifik menjadi wewenang lagi dari pemerintaan tingkat lokal.
 Meskipun rencana pembangunan nasional tidak dapat secara langsung menjabarkan perencanan fisik dalam tingkat lokal tetapi sering kali bahwa program pembangunan tingkat nasional sangat mempengaruhi program pembangunan yang disusun oleh tingkat lokal. Sebagai contoh, ketidaksingkronan program pendanaan antara APBD dan APBN, yang sering mengakibatkan kepincangan pelaksanaan suatu program pembangunan fisik, misalnya; bongkar pasang untuk rehabilitasi jaringan utilitas kota.
LINGKUP REGIONAL
        Instansi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di Indonesia adalah Pemda Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah maupun vertikal (kantor wilayah).
 Contoh; Dinas PU Propinsi, DLLAJR, Kanwil-kanwil. Sedang badan yang mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di setiap provinsi walaupun perencanaan ditingkat kota dan kabupaten konsisten sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah digariskan diatas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri yang penting dalam hal ini pengertian timbal balik, koordinatif.
 LINGKUP LOKAL
 Penanganan perencanaan pembangunan ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada dinas-dinas,
contoh: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Kesehatan, Dinas PDAM. Koordinasi perencanaan berdasarkan Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II.  Saat ini perlu diakui bahwa sering terjadi kesulitan koordinasi perencanaan. Masalah ini semakin dirasakan apabila menyangkut dinas-dinas eksekutif daerah dengan dinas-dinas vertikal.
Di Amerika dan Eropa sejak 20 tahun terakhir telah mengembangkan badan-badan khusus darai pemerintah kota untuk menangani program mota tertentu, seperti program peremajaan kota (urban renewal programmes). Badan otorita ini diberi wewenang khusus untuk menangani pengaturan kembali perencanaan fisik terperinci bagian-bagian kota.
LINGKUP SWASTA
        Lingkup kegiatan perencanaan oleh swasta di Indonesia semula memang hanya terbatas pada skalanya seperti pada perencanaan perumahan, jaringan utiliyas, pusat perbelanjaan dll. Dewasa ini lingkup skalanya sudah luas dan hampir tidak terbatas. Badan-badan usaha konsultan swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan layanan yang semakin luas dan profesionalisme.
Kewenangan pihak swasta yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan/produk.  Pihak swasta terkecil adalah individu atau perorangan. Peran individu juga sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan pembangunan secara keseluruhan.
Contoh apabila seseorang membuat rumah maka ia selayaknya membuat perencanaan fisik rumahnya dengan memenuhi peraturan yang berlaku. Taat pada peraturan bangunan, aturan zoning, perizinan (IMB) dan sebaginya.

RESUME
                Perencanaan fisik pembangunan berfungsi untuk mengatur dan menata kebutuhan fisik bagi kehidupan manusia. Perencaan fisik ini mencakup 2 bidang yaitu tata ruang dan lingkungan serta sarana dan prasarana wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan memenuhi kehidupan hidup manusia dengan memperhatikan asas-asas tertentu. Perencanaan ini juga berperan dalam 4 lingkup yakni lingkup local, regional, nasional serta sector swasta.


Sumber :


HUKUM PERBURUHAN

BAB V
HUKUM PERBURUHAN

Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan didominasi oleh karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain: Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca-Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. Meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.
5.1 Hukum Perburuhan Menurut UU no 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan. Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
CONTOH STUDI KASUS  : MARSINAH
Sembilan tahun yang lalu, pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Jasad Marsinah ditemukan setelah hilang pada tanggal 5 Mei 1993. Jasadnya ditemukan setelah Marsinah terlibat aktif dalam pemogokan buruh PT Catur Putra Surya. Jasad Marsinah ditemukan setelah dia marah kepada Kodim Sidoarjo karena telah menangkap 13 teman Marsinah dan ditekan secara fisik dan psikologis dan dipaksa menandatangi surat PHK.
Marsinah adalah gambaran perempuan buruh korban kekejaman kapitalisme dan patriarki yang termanifestasi pada kolaborasi antara pengusaha  dan tentara. Kolaborasi antara pengusaha dan tentara bukan hal yang aneh, karena dalam konsep negara/pemerintah yang berpihak pada modal maka tentara akan selalu dibutuhkan dan digunakan untuk menjaga alat-alat produksi milik pemodal.
Pemerintah Orde Baru berupaya membuat pengadilan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Marsinah tetapi itu hanyalah drama bohong belaka, karena peradilan pada masa Orde Baru tersebut menutup-nutupi keterlibatan tentara (pada waktu itu ABRI).
Tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka, pergelangan tangannya lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vagina hancur (dari berbagai sumber). Kalau melihat kondisi tersebut sudah hampir dipastikan bahwa Marsinah selain mengalami kekerasan fisik juga mengalami kekerasan seksual.
Kini setelah 14 tahun reformasi, 19 tahun kematian Marsinah belum titik terang akan keberlanjutan untuk menyelesaikan kasus ini. Sudah sebanyak 3 kali makam Marsinah dibongkar dan Tim Pencari Fakta dibentuk untuk kebutuhan penyelidikan. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM berupaya untuk membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal menguak kembali pembunuh sebenarnya dalam kasus Marsinah.
Segala upaya yang dilakukan gagal karena setiap pemerintahan dalam era Reformasi tidak punya kemauan serius untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Marsinah. Janji-janji untuk menyelesaikan kasus Marsinah dalam setiap pemilu hanya menjadi isapan jempol belaka.Anehnya, pihak Kodim kemudian menangkap, menyiksa, dan menjatuhkan vonis terhadap sejumlah management PT Catur Putra Surya dan seorang di antaranya dalam keadaan hamil muda, atas tuduhan telah membunuh Marsinah. Pada tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) yang didirikan oleh beberapa LSM dan serikat buruh untuk menginvestigasi dan mengadvokasi pembunuhan Marsinah oleh Aparat Militer. Sampai saat ini matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang belum dapat diketahui siapa pelaku pembunuhnya. Runyamnya,pada tahun 2012 ini kasus Marsinah akan ditutup karena dianggap telah mencapai batas waktu peradilan.
5.2 Hukum Perburuhan Menurut UU no 12 tahun 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar. Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya. Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
CONTOH STUDI KASUS 
Malang benar nasib Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang menjadi stafahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus kehilangan pekerjaannya. Itet Tridjajati Sumarijanto, Anggota DPR dari PDIP, baru saja memutuskan hubungan kerjanya selama ini. Ironisnya, PHK dilakukan saat Naning –sapaan akrab Nurely- tengah hamil tua.
“Niatan untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia kandungan 4 bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan sibuk mengurusi bayi. Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak akan mampu bekerja secara penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada, Rabu (17/8) lalu.
Pada 3 Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai PHK yang dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya Itet dapat berperilaku adil terhadap pekerja perempuan.
“Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan menggantinya dengan pekerja laki-laki,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin hakpekerja perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1) huruf e menyatakan ‘Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.
Naning juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia di-PHK bila anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini jelas-jelas melanggar aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU Ketenagakerjaan bisa ditegakan di Gedung DPR.
“Saya memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja (asisten pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena tidak memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti, libur, pesangon, jaminan sosial,” sebutnya.
Sementara, Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu berkonsultasi kepada Setjen DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan konsultasi ke Biro Hukum DPR RI ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk. Menurut beliau aturan yang disampaikan sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan,” jelasnya.
“Saya sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai bentuk kemanusiaan,” sebutnya.
Itet juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat umum untuk menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya memiliki IPK 2,5 sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet, walau akhirnya ia mengangkat Naning juga sebagai stafnya.

RESUME
Hukum perburuhan dibuat untuk mengatur tentang hukum yang laya bagi pekerja buruh tentang pengaturan jam kerja, jenis pekerjaan, upah, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar kaum buruh mendapatkan hak yang sepantasnya dan tidak dirugikan. Banyak peraturan undang-undang yang mengatur tentang perburuhan sampai dengan PHK hal ini agar kasus-kasus yang tidak seharusnya terjadi tidak terulang kembali dan kaum buruh dapat bekerja dengan layak sesuai dengan hak-hak yang merke miliki.
                Sumber :


HUKUM PERIKATAN

BAB IV 
HUKUM PERIKATAN

Hukum perikatan yang dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan verbintenis ternyata memiliki arti yang lebih luas  daripada perjanjian. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan juga mengatur suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari suatu persetujuan atau perjanjian. Hukum perikatan yang demikian timbul dari adanya perbuatan melanggar hukum “onrechtmatigedaad” dan perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan “zaakwaarneming”.
Berikut ini merupakan definisi hukum perikatan menurut para ahli :
1.          Hukum perikatan menurut Pitlo adalah “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
2.          Hukum perikatan menurut  Hofmann adalah “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu".
3.          Hukum perikatan menurut Subekti adalah "Suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu".
4.1 PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu yang bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat dengan pancaindra suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat atau dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan perkataannya yang berupa janji.
Asas Perjanjian
Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.
a.       Asas sistem terbukan hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.
b.      Asas Konsensualitas
Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
c.       Asas Personalitas
Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.
d.      Asas Itikad baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
1.    Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
2.    Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.
e.      Asas Pacta Sunt Servada
Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.
f.        Asas force majeur
Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.
g.       Asas Exeptio non Adiempletie contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.
Syarat Sahnya Perjanjian
a.       Syarat Subjektif
-       Keadaan kesepakatan para pihak
-       Adanya kecakapan bagi para pihak
b.      Syarat Objektif
-       Adanya objek yang jelas
-       Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum

4.2 Undang-Undang
Level Kompetensi III
Perikatan  Alami (Natuurlijke Verbintenis)/ Perikatan bebas.
a.       Pengertian perikatan alami.(ps.1359 ayat 2)
Perikatan alam yg secara sukarela dipenuhi,tak dapat dituntut pengembaliannya./perikatan yg tidak dapat dituntut pelaksanaannya dimuka pengadilanàperikatan tanpa aksiàberkaitan dng  Schuld tanpa haftung ,contoh utang yg timbul dari perjudianàps.1788, 1791 KUH Pdt.
b.      Penafsiran sempit  dan penafsiran luas perikatan alamiah serta  unsur-unsur mendesaknya kewajiban.
Menurut ajaran sempit ,adanya perikatan alam didasarkan pada hukum positif,baik yg sejak semula memang tidak mempunyai tuntutan hukum,misal ps.1788 BW.maupun oleh karena keadaan yg timbul kemudian tuntutan hukumnya  menjadi hapus,misalnya  perikatan yg masih ada  setelah terjadi nya homologatie dari suatu accoord dalam kepailitan.
Jadi  menrut penafsiran sempit perikatan bebas ialah prikatan yg eksistensinya hanya diakui  oleh undng-undang.

RESUME
                Hukum perikatan adalah hukum antar sejumlah orang yang saling terikat untuk melaksanakan sesuatu dengan mengadakan perjanjian hukum diantar kedua belah pihak yang sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Kedua belah pihak akan saling terikat selama perjanjian hukum tersebut berlangsung. Adapula penafsiran hukum perikatan berdasarkan undang-undang yaitu perikatan alami atau perikatan bebas.





Sumber :

Rabu, 09 Oktober 2013

UU dan Peraturan Pembangunan Nasional

BAB 3
UU dan Peraturan Pembangunan Nasional

3.1  UU no 24 Tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang
BAB V
RENCANA TATA RUANG
Pasal 19
(1)    Rencana tata ruang dibedakan atas :
a.       Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b.      Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c.       Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2)    Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digambarkan dalam peta wilayah Negara Indonesia, peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, dan peta wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 20
(1)    Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Negara, yang meliputi :
a.       tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b.      struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;
c.       kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu.
(2)    Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi :
a.       penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional;
b.      norma dan kriteria pemanfaatan ruang;
c.       pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(3)    Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk :
a.       perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
b.      mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor;
c.       pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyakarat;
d.      penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II.
(4)    Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5)    Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

3.2 UU no. 4 Tahun 1992 tentang Permukiman
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1)    Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan  terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2)    Pembangungan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk :
a.       Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman;
b.      Mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3)    Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1)    Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi  persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2)    Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya  meliputi penyediaan :
a.       rencana tata ruang yang rinci;
b.      data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah
c.       jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3)    Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1)    Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2)    Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3)    Pembentukan badan lain serta penunjukkan badan usaha milik negara dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)    Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usahamilik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang pembangunan perumahan.
(5)    Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6)    Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1)    Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2)    Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1)    Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2)    Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3)    Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4)    Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5)    Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidangpembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau dilingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib :
a.       melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
b.      membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c.       mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d.      membanlu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
e.      melakukan penghijauan lingkungan;
f.        menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g.       membangun rumah.
Pasal 25
(1)    Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan -kegiatan :
a.       pematangan tanah;
b.      penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c.       penyediaan prasarana lingkungan;
d.      penghijauan lingkungan;
e.      pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1)    Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2)    Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3)    Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa  rumah.
Pasal 27
(1)    Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2)    Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) berupa kegiatan-kegiatan :
a.       perbaikan atau pemugaran;
b.      peremajaan;
c.       pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3)    Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1)    Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2)    Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkahlangkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

RESUME
UU no 24 berisikan tentang penataan ruang untuk menciptakan pemanfaat ruang dengan perencanaan yang matang penataan ruang ini didasrkan dalam beberapa pasal dan berbeda pada setiap daerah. Rencana tataruang harus memperhatikan perkembangan pada daerah tertentu,rencana tata ruang terkait dengan daerah tertentu, keselarasan pembangunan nasional dan daerah. UU ini secaa keseluruhan mengatur tata ruang kota agar lebih efektif dan mengatur pola ruang kota menjadi semakin baik dan terencana.
UU no 4 berisikan tentang pembangunan pemukiman. Pembangunan pemukiman  dalam skala besar harus memperhatikan beberapa persyaratan pemerintah yang telah diatur dalam uu ini. Pembangunan pemukiman ini bertujuan untuk menciptakan kawasan pemukin yang tersusun terencana, serta meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman yang lebih baik. Sehingga untuk menghasilkan lingkungan tersebut diharuskan memperhatikan  rencana tata ruang yang rinci, data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah, serta jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.

Sumber:
http://www.pu.go.id/uploads/services/2011-11-29-12-28-45.pdf
http://www.pu.go.id/uploads/services/2011-11-29-12-29-55.pdf



UU dan Peraturan Pembangunan Nasional

BAB 2
UU dan Peraturan Pembangunan Nasional

2.1 TATA HUKUM KEBIJAKAN NEGARA
Tata Hukum berasal dari bahasa Belanda,  ” recht orde “  ialah susunan hukum, yang artinya memberikan tempat sebenarnya kepada hukum, yaitu dengan menyusun lebih baik, dan tertib aturan hukum – aturan hukum  dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dalam Tata Hukum, ada aturan hukum yang berlaku, pada saat tertentu, yang disebut hukum Positif  atau Ius Constitutum, aturan-aturan hukum yang berlaku tersebut dinamakan rech, atau Hukum.
Perlu diingat bahwa manusia selalu berkembang, sehingga rasionya berjalan sesuai dengan rasa adil yang dibutuhkan dalam perkembangan masyarakat saat itu, oleh karena itu, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sebagai hukum positif  juga akan berkembang sesuai dengan tujuannya.
Berarti hukum positif pun  akan mengalami perubahan  dan berkembang sebagaimana aturan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat .
Suatu ketentuan hukum, seperti hukum positif, yang tidak sesuai dengan kebutuhan, wajib diganti dengan ketentuan hukum sejenis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.
Hukum pengganti yang semula  sebagai Ius Constituendum wajib berdasarkan hukum masyarakat . Hal itu supaya kelak menjadi Ius Constitutum (Hukum Positif), aturan hukum yang lama, yang semula sebagai hukum positif tidak berlaku lagi, sementara itu hukum yang baru menjadi hukum positif , baik hukum yang lama (recht)  atau hukum yang baru  sebagai pengganti hukum yang lama (Positif recht) kedua-duanya merupakan Tata Hukum atau Orden Recht.
Kebijakan negara diperuntukkan untuk kepentingan negara. Contoh: kebijakan moneter negara, kebijakan luar negeri, dll. Menurut James E Anderson ( dalam Islamy,2004 : 19) kebijaksanaan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah :1) Bahwa kebijakan negara itu sesalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) Bahwa kebijaksanaan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah; 3) Bahwa kebijaksanaan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; 4) Bahwa kebijaksanaan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalamartimerupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan 5) Bahwa kebijaksanaan pemerintah setidak-tidaknya dalamarti yang positif didasarkan atau selalu dilandasi pada peraturan-peraturanperundangan yang bersifat memaksa (otoritarif).
2.2 PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN DAERAH
Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemrintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hirarkinya tidak boleh tumpangtindih atau bertolak belakang.
Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas:
Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
RESUME
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu pembangunan sangat bergantung pada tata hukum kebijakan Negara dan peraturan pemerintah seta daerah. Suatu pembangunan dapat mharus memiliki perizinan terlebih dahulu sehingga hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena peraturan peraturan tersebut yang menentukan bagaimana kebijakan suatu pembangunan di daerah tertentu di Indonesia. Peraturan peraturan ini yang mengatur kebijakan kebijakan pembangunan tata ruang kota dan lingkungan sehingga menghasilkan lingkungan kota yang lebih kondusif.

Sumber :
http://abaslessy.wordpress.com/2012/10/26/uu-dan-peraturan-pembangunan-nasional-tata-hukum-dan-kebijakan-negara/
wiki/Peraturan_daerah
wiki/Peraturan_pemerintah