BAB V
HUKUM PERBURUHAN
Hukum
Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, di satu sisi,
dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai
hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan didominasi oleh
karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas
Indonesia. karyanya antara lain: Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan
Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan
Peraturan-peraturan.
Belakangan,
pasca-Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh
sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis
Serikat Buruh dan advokat perburuhan. Meskipun di perguruan tinggi yang ada
Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam
Soepomo sebagai rujukan wajib.
5.1 Hukum Perburuhan Menurut UU no 12 tahun 1948 tentang Kriteria
Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja
buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja
dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan,
tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan
aturan tambahan. Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari
hal-hal yang tidak diharapkan.
CONTOH STUDI KASUS : MARSINAH
Sembilan tahun yang lalu, pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan
tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan
jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus
kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Jasad
Marsinah ditemukan setelah hilang pada tanggal 5 Mei 1993. Jasadnya ditemukan
setelah Marsinah terlibat aktif dalam pemogokan buruh PT Catur Putra Surya.
Jasad Marsinah ditemukan setelah dia marah kepada Kodim Sidoarjo karena telah
menangkap 13 teman Marsinah dan ditekan secara fisik dan psikologis dan dipaksa
menandatangi surat PHK.
Marsinah adalah gambaran perempuan buruh korban kekejaman kapitalisme
dan patriarki yang termanifestasi pada kolaborasi antara pengusaha dan tentara. Kolaborasi antara pengusaha dan
tentara bukan hal yang aneh, karena dalam konsep negara/pemerintah yang
berpihak pada modal maka tentara akan selalu dibutuhkan dan digunakan untuk
menjaga alat-alat produksi milik pemodal.
Pemerintah Orde Baru berupaya membuat pengadilan untuk menyelesaikan
kasus pembunuhan Marsinah tetapi itu hanyalah drama bohong belaka, karena
peradilan pada masa Orde Baru tersebut menutup-nutupi keterlibatan tentara
(pada waktu itu ABRI).
Tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka, pergelangan tangannya
lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vagina hancur (dari berbagai
sumber). Kalau melihat kondisi tersebut sudah hampir dipastikan bahwa Marsinah
selain mengalami kekerasan fisik juga mengalami kekerasan seksual.
Kini setelah 14 tahun reformasi, 19 tahun kematian Marsinah belum titik
terang akan keberlanjutan untuk menyelesaikan kasus ini. Sudah sebanyak 3 kali
makam Marsinah dibongkar dan Tim Pencari Fakta dibentuk untuk kebutuhan
penyelidikan. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM berupaya untuk membuka kembali
kasus Marsinah dan itu pun gagal menguak kembali pembunuh sebenarnya dalam
kasus Marsinah.
Segala upaya yang dilakukan gagal karena setiap pemerintahan dalam era
Reformasi tidak punya kemauan serius untuk menyelesaikan kasus pembunuhan
Marsinah. Janji-janji untuk menyelesaikan kasus Marsinah dalam setiap pemilu
hanya menjadi isapan jempol belaka.Anehnya, pihak Kodim kemudian menangkap,
menyiksa, dan menjatuhkan vonis terhadap sejumlah management PT Catur Putra
Surya dan seorang di antaranya dalam keadaan hamil muda, atas tuduhan telah
membunuh Marsinah. Pada tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah
(KSUM) yang didirikan oleh beberapa LSM dan serikat buruh untuk menginvestigasi
dan mengadvokasi pembunuhan Marsinah oleh Aparat Militer. Sampai saat ini
matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang belum dapat diketahui siapa
pelaku pembunuhnya. Runyamnya,pada tahun 2012 ini kasus Marsinah akan ditutup
karena dianggap telah mencapai batas waktu peradilan.
5.2 Hukum Perburuhan Menurut UU no 12 tahun 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam
undang-undang dilanggar. Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan
oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak
dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya. Di dalam UU ini terdapat hal-hal
yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja,
pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha
kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
CONTOH STUDI KASUS
Malang benar nasib Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang menjadi
stafahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus kehilangan
pekerjaannya. Itet Tridjajati Sumarijanto, Anggota DPR dari PDIP, baru saja
memutuskan hubungan kerjanya selama ini. Ironisnya, PHK dilakukan saat Naning
–sapaan akrab Nurely- tengah hamil tua.
“Niatan untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia
kandungan 4 bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan sibuk
mengurusi bayi. Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak akan mampu
bekerja secara penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada, Rabu (17/8) lalu.
Pada 3 Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai
PHK yang dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan diskriminasi
terhadap pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan Anggota Komisi IX yang
membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya Itet dapat berperilaku adil
terhadap pekerja perempuan.
“Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan
menggantinya dengan pekerja laki-laki,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin
hakpekerja perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1) huruf e
menyatakan ‘Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya’.
Naning juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang
pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia di-PHK bila
anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini jelas-jelas melanggar
aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU Ketenagakerjaan bisa
ditegakan di Gedung DPR.
“Saya memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja
(asisten pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku
di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena
tidak memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti, libur, pesangon,
jaminan sosial,” sebutnya.
Sementara, Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu
berkonsultasi kepada Setjen DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan
konsultasi ke Biro Hukum DPR RI ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk. Menurut
beliau aturan yang disampaikan sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa disamakan
kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan,” jelasnya.
“Saya sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai
bentuk kemanusiaan,” sebutnya.
Itet juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat
umum untuk menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya memiliki
IPK 2,5 sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet, walau akhirnya ia
mengangkat Naning juga sebagai stafnya.
RESUME
Hukum perburuhan
dibuat untuk mengatur tentang hukum yang laya bagi pekerja buruh tentang
pengaturan jam kerja, jenis pekerjaan, upah, dan sebagainya. Hal ini
dimaksudkan agar kaum buruh mendapatkan hak yang sepantasnya dan tidak
dirugikan. Banyak peraturan undang-undang yang mengatur tentang perburuhan
sampai dengan PHK hal ini agar kasus-kasus yang tidak seharusnya terjadi tidak
terulang kembali dan kaum buruh dapat bekerja dengan layak sesuai dengan
hak-hak yang merke miliki.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar