Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)
adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL
(Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup).
Kegiatan yang tidak
wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL
diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak
kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan
perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar
untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Perbedaan UKL-UPL
dengan AMDAL adalah UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup) merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup
bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL. UKL-UPL diatur
sejak diberlakukannya PP 51/1993 tentang AMDAL. UKL-UPL tidak sama dengan AMDAL
yang harus dilakukan melalui proses penilaian dan presentasi, tetapi lebih
sebagai arahan teknis untuk memenuhi standar-standar pengelolaan lingkungan
hidup. Berdasarkan Kep-MENLH No 86 Tahun 2002 tentang UKL-UPL, pemrakarsa
diwajibkan mengisi formulir isian dan diajukan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengeloaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota atau di Propinsi.
Rencana kegiatan yang
sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL
(vide Kep-MENLH No. 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah
diketahui teknologinya dalam pengelolaan limbahnya.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti
AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
- Identitas pemrakarsa
- Rencana Usaha dan/atau kegiatan
- Dampak Lingkungan yang akan terjadi
- Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
STUDI
KASUS
Maraknya pembangunan proyek besar di Surabaya yang
berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti kemacetan dan banjir diduga
karena diobralnya pembuatan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL)
dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL).
Pasalnya selama ini, UKL dan UPL yang diajukan
pemrakarsa atau pemilik proyek sifatnya sangat normatif. Sehingga ketika ada
kelurahan dari masyarakat ternyata proyek yang dibangun itu berdampak negatif,
pemrakarsa baru kebingungan.
“Kondisi seperti itu sekarang ini sering terjadi.
Penyebabnya, tak lepas dari banyaknya orang yang menawarkan menyusun UKL dan
UPL dengan harga yang murah,” ujar Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup
(BPLH) Pemkot Surabaya, Ir Togar Arif Silaban MEng, dalam “Workshop Proses dan
Implementasi Amdal” bagi wartawan yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITS Surabaya, Rabu (28/2).
Tetapi Togar tidak berani membeber berapa harga
menyusun UKL dan UPL tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa bahwa harga UKL dan
UPL serta Amdal sesuai harga pasar. “Itupun masih tergantung seberapa dampak
lingkungan yang akan timbul dan berapa jumlah tenaga ahli yang dibutuhkan
membuatnya,” tukasnya.
Tapi Wakil Kepala Bapedal Jatim, Ir Dewi J Putriani
MSc mengatakan untuk konsultasi publik UKL-UPL saja, dana yang harus
dikeluarkan pemrakarsa antara Rp 500-750 juta. “Itu belum termasuk biaya
lain-lainnya,” imbuh Dewi.
UKL adalah dokumen rencana pengelolaan lingkungan
hidup (RKL) yang telah disahkan oleh Komisi Penilai Amdal. Sementara UPL
merupakan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) yang telah
disahkan. Dua dokumen ini, bersama dokumen analisis dampak lingkungan (Andal)
biasanya diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Hasil
penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan
tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan
untuk diberi ijin atau tidak.
“Untuk UKL dan UPL, malah menjadi sangat penting,
karena keberadaannya sangat diperlukan untuk proses pemberian izin selanjutnya
seperti, IMB,” tukas Togar.
Tetapi pentingnya keberadaan UKL dan UPL tersebut
ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai dari pemrakarsa.
Kebanyakan pemrakarsa tidak paham betul apa maksud dan isi dari rekomendasi UKL
dan UPL yang telah diperolehnya. Baru ketika terjadi masalah atau kasus dengan
prooyek yang dibangunnya, pemrakarsa baru melihat, mempelajari dan memahami
maksud UKL dan UPL.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya pejabat
pengawas yang punya kualifikasi mengawasi dampak pembangunan dari sisi
lingkungan. Pasalnya untuk kota metropolis seperti Surabaya yang setiap
tahunnya berdiri lebih dari 15 mal atau proyek baru, ternyata pejabat pengawas
daerah yang dimiliki hanya empat orang.
Padahal dokumen Amdal/UKL-UPL 2002-2006 yang dirilis
BPLH Pemkot menunjukkan, selama tiga tahun terakhir ini, jumlah UKL dan UPL
yang dikeluarkan terus mengalami peningkatan.
Jika tahun 2004 hanya 88, tahun 2005 meningkat
menjadi 135 dan tahun 2006 juga meningkat menjadi 163.
Karena itulah, Asisten Deputi Urusan Pengkajian
Dampak Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup, Ir Hermien Roosita MM minta agar
di Surabaya mulai dilakukan kajian lingkungan strategis. Tujuannya, untuk
mengetahui kapan mal dan industri tidak boleh dibangun di dalam kota.
“Itu penting karena Amdal, UKL dan UPL yang
asal-asalan pasti dikemudian hari akan menimbulkan masalah. Apalagi dampak
lingkungan dari sebuah proyek itu biasanya 10 sampai 15 tahun lagi,” tandas
Hermien.
Dari sudi kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,
pemerintah masih kurang memeperhatikan jenis proyek pembangunan yang terjadi
sehingga penyaringan tersebut tidak berhasil dan menyebabkan begitu banyak
embangunan yang terjadi akibat mudahnya pembuatan UKL-UPL padahala seharusnya
UKL-UPL meminmalisir pembangunan yang bisa memberikan dampak buruk terhadapa
lingkungan. Akan tetapi hal tersebut kurang menjadi perhatian saat ini. Padahal
dampak pembangunan tersbut akan sangat terasa dan sangat merugikan apabila
ternya proyek pembangunan yang mendapatkan UKL-UPL ternyata memiliki dampak
yang merugikan lingkungan
SUMBER:
http://www.silaban.net/2007/03/01/ukl-upl-proyek-besar-sering-diobral-masyarakat-harus-tanggung-dampak-lingkungan/