Jumat, 18 Januari 2013

UKL-UPL terhadap Pembangunan Indonesia


Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.

Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.

UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Perbedaan UKL-UPL dengan AMDAL adalah UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL. UKL-UPL diatur sejak diberlakukannya PP 51/1993 tentang AMDAL. UKL-UPL tidak sama dengan AMDAL yang harus dilakukan melalui proses penilaian dan presentasi, tetapi lebih sebagai arahan teknis untuk memenuhi standar-standar pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Kep-MENLH No 86 Tahun 2002 tentang UKL-UPL, pemrakarsa diwajibkan mengisi formulir isian dan diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengeloaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota atau di Propinsi.

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (vide Kep-MENLH No. 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologinya dalam pengelolaan limbahnya.

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
  • Identitas pemrakarsa
  • Rencana Usaha dan/atau kegiatan
  • Dampak Lingkungan yang akan terjadi
  • Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Tanda tangan dan cap

Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara


STUDI KASUS

Maraknya pembangunan proyek besar di Surabaya yang berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti kemacetan dan banjir diduga karena diobralnya pembuatan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL).
Pasalnya selama ini, UKL dan UPL yang diajukan pemrakarsa atau pemilik proyek sifatnya sangat normatif. Sehingga ketika ada kelurahan dari masyarakat ternyata proyek yang dibangun itu berdampak negatif, pemrakarsa baru kebingungan.

“Kondisi seperti itu sekarang ini sering terjadi. Penyebabnya, tak lepas dari banyaknya orang yang menawarkan menyusun UKL dan UPL dengan harga yang murah,” ujar Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Pemkot Surabaya, Ir Togar Arif Silaban MEng, dalam “Workshop Proses dan Implementasi Amdal” bagi wartawan yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITS Surabaya, Rabu (28/2).

Tetapi Togar tidak berani membeber berapa harga menyusun UKL dan UPL tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa bahwa harga UKL dan UPL serta Amdal sesuai harga pasar. “Itupun masih tergantung seberapa dampak lingkungan yang akan timbul dan berapa jumlah tenaga ahli yang dibutuhkan membuatnya,” tukasnya.

Tapi Wakil Kepala Bapedal Jatim, Ir Dewi J Putriani MSc mengatakan untuk konsultasi publik UKL-UPL saja, dana yang harus dikeluarkan pemrakarsa antara Rp 500-750 juta. “Itu belum termasuk biaya lain-lainnya,” imbuh Dewi.

UKL adalah dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) yang telah disahkan oleh Komisi Penilai Amdal. Sementara UPL merupakan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) yang telah disahkan. Dua dokumen ini, bersama dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) biasanya diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

“Untuk UKL dan UPL, malah menjadi sangat penting, karena keberadaannya sangat diperlukan untuk proses pemberian izin selanjutnya seperti, IMB,” tukas Togar.

Tetapi pentingnya keberadaan UKL dan UPL tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai dari pemrakarsa. Kebanyakan pemrakarsa tidak paham betul apa maksud dan isi dari rekomendasi UKL dan UPL yang telah diperolehnya. Baru ketika terjadi masalah atau kasus dengan prooyek yang dibangunnya, pemrakarsa baru melihat, mempelajari dan memahami maksud UKL dan UPL.

Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya pejabat pengawas yang punya kualifikasi mengawasi dampak pembangunan dari sisi lingkungan. Pasalnya untuk kota metropolis seperti Surabaya yang setiap tahunnya berdiri lebih dari 15 mal atau proyek baru, ternyata pejabat pengawas daerah yang dimiliki hanya empat orang.

Padahal dokumen Amdal/UKL-UPL 2002-2006 yang dirilis BPLH Pemkot menunjukkan, selama tiga tahun terakhir ini, jumlah UKL dan UPL yang dikeluarkan terus mengalami peningkatan.
Jika tahun 2004 hanya 88, tahun 2005 meningkat menjadi 135 dan tahun 2006 juga meningkat menjadi 163.

Karena itulah, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup, Ir Hermien Roosita MM minta agar di Surabaya mulai dilakukan kajian lingkungan strategis. Tujuannya, untuk mengetahui kapan mal dan industri tidak boleh dibangun di dalam kota.

“Itu penting karena Amdal, UKL dan UPL yang asal-asalan pasti dikemudian hari akan menimbulkan masalah. Apalagi dampak lingkungan dari sebuah proyek itu biasanya 10 sampai 15 tahun lagi,” tandas Hermien.

Dari sudi kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, pemerintah masih kurang memeperhatikan jenis proyek pembangunan yang terjadi sehingga penyaringan tersebut tidak berhasil dan menyebabkan begitu banyak embangunan yang terjadi akibat mudahnya pembuatan UKL-UPL padahala seharusnya UKL-UPL meminmalisir pembangunan yang bisa memberikan dampak buruk terhadapa lingkungan. Akan tetapi hal tersebut kurang menjadi perhatian saat ini. Padahal dampak pembangunan tersbut akan sangat terasa dan sangat merugikan apabila ternya proyek pembangunan yang mendapatkan UKL-UPL ternyata memiliki dampak yang merugikan lingkungan

SUMBER:
http://www.silaban.net/2007/03/01/ukl-upl-proyek-besar-sering-diobral-masyarakat-harus-tanggung-dampak-lingkungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar