Setiap kota
pasti memiliki bagian kota tuanya
yang merupakan warisan dari sejarah masa
sebelumnya. Kota tua dengan
corak dan langgam arsitekturalnya
menyimpan atmosfer dan
suasana lokalitas yang berbeda
sehingga terdapat potensi
yang besar. Namun sayangnya
kota tua seringkali terabaikan sehingga
malah menjadi kota bawah dan menjadi
daerah kumuh bahkan mati. Hal ini disebabkan
bahwa kota terus tumbuh dan berkembang.
Aktivitas yang silih berganti, kondisi
politik yang dinamis dan kehidupan sosial
yang berubah-ubah sepanjang waktu menyebabkan
kota tua sering berubah fungsi atau ditinggalkan oleh penghuninya.
Singapura
memiliki daerah-daerah konservasi
berupa kampung etnis meliputi Chinatown,
Kampong Glam, Bugis dan Little India.
Terutama Chinatown yang menjadi pokok
bahasan dalam tulisan ini, merupakan salah
satu kampung etnis yang sudah ada sejak
masa kolonial Inggris. Chinatown memiliki
latar belakang sejarah yang panjang, mengalami
penurunan kualitas pada masa pasca
perang dunia, menjadi
lingkungan kumuh hingga
akhirnya dikonservasi oleh pemerintah
dan menjadi aset pariwisata Singapura.
Ketika singapura menjadi kawasan pelabuhan yang
strategis banyak imigran yang dating terutama yang berasal dari Guang Do, Cina
Selatan. Untuk mempermudah pengaturan imigran maka dibuatlah kampung china
(niuchesui) pada tahun 1820. Raffles
menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan khusus untuk etnis China pada tahun
1822. Kemudian Raffles juga membagi daerah berdasarkan kelompok suku yang ada
yaitu Hokkian di Telok Ayer dan sekitar sungai, Teochew di Clark Quay dan
sekitar Fort Canning, sedangkan Kanton dan Hakka di sekitar Kreta Ayer. Selain
itu Raffles juga mengelompokkan lagi komunitas di Chinatown berdasarkan kelas
dan jenis mata pencaharian, yakni pedagang, seniman maupun petani. Pada tahun
1839 kawasan Telok Ayer berkembang menjadi pusat komersial di selatan
Singapura.
Pada tahun 1843 Chinatown menjadi terkenal dan
dikunjungi banyak wisatawan dengan kekhasan lokal yang dimilikinya. Hal ini
menyebabkan kepadatan dan arus orang datang dan pergi semakin meningkat. Maka
pada tahun 1885 Chinatown difasilitasi oleh transportasi publik yaitu steam
train, kereta listrik dan troley bus pada tahun 1929.
Pada perkembangannya kemudian terjadi semacam alih fungsi yaitu Chinatown
yang tadinya adalah
kawasan hunian menjadi kawasan
perdagangan. Akibatnya adalah timbul
kepadatan tinggi memunculkan
adanya masalah
kesehatan, slum dan turunnya kualitas
lingkungan. Wabah penyakit bermunculan
dan ditambah adanya isu rasial dan
nasionalis yang sentimental memunculkan adanya
permasalahan-permasalahan sosial.
Chinatown
pernah menjadi tempat perdagangan
yang ramai hingga tempat dunia malam,
prostitusi, hingga perdagangan opium di
Asia. Dengan adanya situasi sosial yang memburuk
sering terjadi kriminalitas pada lingkungan
Chinatown ini. Situasi perang membuat
kehidupan di Chiantown menjadi hancur
yaitu pada tahun 1940an. Hal tersebut tidak
membuat morfologi Chinatown berubah, namun
akibat perang kondisi bangunan semakin
parah. Maka tahun 1960 hingga 1970,
banyak bangunan lama dihancurkan dan digantikan
oleh pengembangan baru terutama oleh
HDB dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan perumahan
rakyat sekaligus mewujudkan
ruang komersial.
Kemudian
pada tahun 1980 URA memutuskan
untuk melakukan preservasi lingkungan
Chinatown dan berusaha memfungsikannya
kembali sebagai kawasan perkantoran
karena letaknya yang mudah diakses
oleh MRT. Pada tahun 1998 Tourist Board
Plan for Chinatown, diresmikan lalu koridor-koridor
jalan secara tematik bersarakan
interest publik.
Konservasi Chinatown
Singapura diprakarsai Oleh URA (Urban Redevelopment Authority).
Singapura merupakan Negara yang ketat dalam menerapkan aturan konservasi,
dikarenakan Singapura pernah melakukan kesalahan yaitu menghacurkan sebagian
bangunan-bangunan bersejarahnya karena lingkungan tersebut dianggap kumuh.
Prinsip dasar yang diterapkan konservasi di Singapura adalah 3R (maximum
Retention, Quality of Restoration, careful Repair).
Distrik Chinatown dikategorikan sebagai historical district
yaitu bangunan pada distrik tersebut masih asli. Hal itu diatur dalam sebuah guidelines
dengan tujuan agar kualitas visualnya tidak berubah dan tergeser oleh arus
modernisasi yang masuk.
Konservasi kawasan bersejarah berarti termasuk juga
mempreservas i elemen arsitekturalnya. Elemen
bangunan yang menjadi perhatian
konservasi di Singapura antara lain, atap,
dinding,
struktur, airwells, rear court, daun
jendela, Railing tangga, dan fasad bangunan. Setiap detail arsitektural tersebut tidak boleh ada yang berubah. Kalaupun
berubah maka hanya
strukturnya saja yang boleh berubah.
Detail arsitektural dalam hal ini termasuk
tekstur, warna, bentuk hingga papan nama.
Semua hal itu diatur oleh URA dalam conservation
guidelines. Sedangkan
benda-benda utilitas seperti air conditioner dan
fan tidak boleh
diletakkan pada muka bangunan cukup
hanya dibelakang saja atau pada jalur servis. Selain elemen arsitekturalnya, fungsi bangunan juga harus sama seperti
aslinya, karena perubahan
fungsi dapat mempengaruhi pula
fasad bangunan tersebut. Menurut guidelines
yang dikeluarkan oleh URA, fungsi asli
bangunan (misal residensial atau komersial)
selalu lebih baik.
Sumber :
Bentley, Alcock, et.
al. (1985). Responsive Environment, A Manual for
Designers.
London : The Architectural Press.
Hack, Karl. (2000). Chinatown
As A Microcosm Of Singapore.
Henderson, J. (2003).
Ethnic Heritage as a Tourist Attraction: the
Peranakans of Singapore. International Journal
of
Heritage
Studies,9:1,27 —
44
https://www.academia.edu/10946846/REVITALISASI_CHINATOWN_SEBAGAI_KAWASAN_BERSEJ
ARAH_ETNIS_TIONGHOA_DI_SINGAPURA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar