Kawasan Jakarta
Kota Tua sejak abad ke-6 masehi hingga menjelang Perang Dunia II, yakni kawasan
sekitar Glodok, Pancoran, Museum Fatahillah, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa,
merupakan jantung nadi perekonomian Nusantara dan bahkan Asia Tenggara,
melampaui nama besar Singapura, Penang, Malaka, Saigon, ataupun Bangkok
(Santosa, 2006). Kombinasi bangunan
bergaya abad pertengahan masa Baroque-Rococo hingga Art Deco paruh pertama abad
ke-20 adalah aset sejarah, budaya yang tidak terhingga pada kawasan ini. Seiring waktu kemegahan masa lalu telah
memudar tekanan
ekonomi yang tinggi telah menjadi pembenaran penggusuran bangunan-bangunan
heritage sehingga eksistensi mereka yang telah lama membentuk tengaran
lingkungan binaan tidaklah selalu baik dan bahkan justru terancam.
Pelestarian/konservasi
bukanlah romantisme masa lalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah,
namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan
revitalisasi kawasan. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan
masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset lama, dan melakukan
pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta
merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi. Semangat dalam sistem pelestarian yang
menyeluruh ini perlu mendasari berbagai upaya revitalisasi yang intinya adalah
menghidupkan kembali suatu tempat yang memiliki aset potensial. Tiupan kehidupan yang diwujudkan tidak hanya
sebatas fisik seperti penyelesaian infrastruktur, dukungan utilitas, pemugaran
ataupun pengem-bangan lainnya, namun juga perencanaan kegiatan baru yang
kreatif dan inovatif yang telah disiapkan bersama dengan mekanisme
pengelolaannya.
Sebagai upaya menuju
perbaikan, revitalisasi Kota Tua Jakarta telah dicanangkan dengan berbagai
perbaikan fisik maupun non fisik. Target
jangka pendek dan jangka panjang telah ditetapkan, bahkan beberapa sudah
dilaksanakan. Kegiatan dengan program
berkelanjutan mulai tahap-tahap jangka pendek hingga jangka panjang, mulai dari
ruang yang kecil hingga yang meluas. Revitalisasi terkait dengan upaya
membangun dan menggalang kekuatan masyarakat lokal membentuk denyut kehidupan
yang sehat yang mampu memberikan keuntungan sosial-budaya dan ekonomi bagi
masyarakatnya. Ruang terbuka sebagai salah
satu elemen kota menjadi perhatian dalam rangka revitalisasi, baik dalam
membentuk identitas kawasan maupun sebagai katalisator menuju keadaan yang
lebih baik.
Ruang terbuka menyangkut
semua landscape, elemen keras (hardscape) yang meliputi jalan, pedestrian,
taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan perkotaan (Shirvani, 1985). Sedangkan Prinz (1980) menyatakan ruang
terbuka merupakan pembentuk struktur dasar sketsa sebuah kota. Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di
tengah kota, jalan-jalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil.
Simpulan yang bisa ditarik dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace)
adalah ruang yang terbentuk, berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan
privat maupun publik untuk melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks
perkotaan. Secara garis besar tipologi
ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front (area yang
berbatasan air), street (jalan) dan lost
space. Selanjutnya dalam konteks Jakarta
Kota Tua, ruang terbuka yang dibahas lebih lanjut adalah ruang publik (umum).
Ruang publik merupakan
suatu lokasi yang didesain (walau hanya minimal) dimana siapa saja mempunyai
hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi diantara individu didalamnya tidak
terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para pelaku didalamnya merupakan
subyek tidak lain dari norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang publik/ruang
terbuka dapat dikatakan dapat berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi
aspek/kaidah seperti etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan
estetika/keindahan (Jokomono, 2004)
Aspek etika mengandung
pengertian tentang bagaimana sebuah ruang publik dapat ‘diterima’ keberadaannya
dan citra positif seperti apa yang ingin dimunculkan yang senantiasa melekat
dengan keberadaan ruang publik tersebut.
Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni
sosial, ekonomi dan lingkungan. Faktor
sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik, terdapat orang
berkumpul dan terjadi interaksi. Selain
sosial juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan yang nyaman mampu
menjadi daya tarik bagi orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika
ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman
dan estetika ekologi. Estetika formal
merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak dengan subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati
dengan partisipasi atau interaksi dan
estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan
adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang tersebut.
Ruang Terbuka Kawasan Pelestarian Kota Tua, Jakarta
Struktur kota pada kawasan Kota Tua secara umum terbentuk dengan aksis
Utara-Selatan. Hal ini terbentuk
berdasarkan perkembangan kota sebagai kawasan perdagangan yang berbasis
pelabuhan. Ruang terbuka (open space)
pada kawasan terbentuk dari Square (taman Fatahillah), Street (Jl Kali Besar
Barat, Jl Kali Besar Timur, Jl Kali Besar Timur 1,2,3,4,5, Jl Pintu Besar, Jl Pos
Kota, Jl Cengkeh), Waterfront (Kali Besar) dan Lost Space-ruang negatif (area
dibawah jalan tol, rel kereta api, serta ruang antar gedung lainnya).
Secara umum ruang terbuka
pada kawasan membentuk beberapa simpul besar diantaranya, a) depan stasiun Beos
(Jakarta Kota) yang juga mampu berfungsi sebagai gerbang kawasan Kota Tua dari
selatan (keberadaan stasiun kereta api, stasiun Busway dan aksis jalur utama
kota) ; b) Taman Fatahillah, berupa plaza dengan pengembangan sebagai pusat
kegiatan kawasan serta c) Kali Besar, berupa koridor sungai. Upaya
revitalisasi sudah mulai dilakukan dengan visi “Terciptanya kawasan bersejarah
Kota Tua Jakarta sebagai daerah tujuan wisata budaya yang mengangkat
nilai pelestarian dan memiliki manfaat ekonomi yang tinggi”. Secara
detail bentuk ruang terbuka beserta lokasi dan upaya-upaya revitalisasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Ruang terbuka Jakarta Kota dan Kegiatan Revitalisasi
Berdasarkan analisa pada tabel 1, kendala utama ruang terbuka pada
kawasan ini adalah tidak menyatunya tipologi ruang terbuka dalam satu kesatuan
yang kontinyu. Terdapat beberapa
penggalan/pemisah yang terbentuk dari lintasan jalur lalulintas yang padat. Menurut Trancik (1986), terputusnya
keterhubungan pedestrian antar destinasi penting membuat terganggunya frekuensi
pejalan kaki yang tidak menyatu. Dalam
upaya pengembangan, langkah pertama yang penting dilakukan adalah
mengidentifikasi pemisah dalam kontinuitas ruang dan selanjutnya diisi dengan
bangunan yang membentuk keterhubungan dan kemungkinan ruang terbuka yang
terhubung dimana hal ini akan mendorong terjadinya investasi. Sebagai upaya memudahkan/menyambung sirkulasi
antar kawasan adalah dibangunnya Jalan Penyeberangan Orang (JPO) melalui bawah
tanah antara gedung ex Bank Exim menuju gedung Stasiun Jakarta Kota.

Kenyamanan lain yang perlu dikembangkan adalah jarak tempuh, secara
keseluruhan antar ketiga destinasi utama kawasan masih dalam jarak pejalan kaki
400m (Llewelyn-Davies, 1992). Berjalan
kaki merupakan moda prima utama dari segala bentuk pergerakan dimana kualitas
kemanusiaan dan nuansa warna kepribadian terungkap dan tercermin pada seseorang
bergerak diatas kedua kakinya, selagi ia berintegrasi dengan masyarakat dan
lingkungannya.
Jokomono (2004) mengamati ruang publik secara umum membentuk dua jenis
yang dapat kita jumpai yaitu square (lapangan seperti plaza dan alun-alun)
serta berbentuk linier yang merupakan perluasan fungsi jalan. Di negara Eropa karakteristik ruang publik
pada umumnya berbentuk square, sedangkan di Asia pada umumnya berbentuk
linier. Urban realm di kota Asia tidak
terjadi di taman atau alun-alun seperti di kota-kota Eropa, melainkan di
jalanan dan lorong-lorongnya. Kehidupan
sehari-hari berlangsung sejak dinihari hingga larut malam dijalanan kota-kota
asia yang sibuk. Bahkan hubungan
sosialpun tak jarang terbentuk disisi jalanan.
Oleh karenanya jalan dan trotoirnya mempunyai peranan yang sangat
penting bagi kota-kota di Asia(Poerbo 2004).
Sumber : http://medha.lecture.ub.ac.id/2012/02/kajian-ruang-terbuka-kawasan-pelestarian-kota-tua-jakarta/