Selasa, 31 Maret 2015

Konservasi Kawasan Ruang Terbuka Kota Tua Jakarta

Kawasan Jakarta Kota Tua sejak abad ke-6 masehi hingga menjelang Perang Dunia II, yakni kawasan sekitar Glodok, Pancoran, Museum Fatahillah, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa, merupakan jantung nadi perekonomian Nusantara dan bahkan Asia Tenggara, melampaui nama besar Singapura, Penang, Malaka, Saigon, ataupun Bangkok (Santosa, 2006).  Kombinasi bangunan bergaya abad pertengahan masa Baroque-Rococo hingga Art Deco paruh pertama abad ke-20 adalah aset sejarah, budaya yang tidak terhingga pada kawasan ini.  Seiring waktu kemegahan masa lalu telah memudar tekanan ekonomi yang tinggi telah menjadi pembenaran penggusuran bangunan-bangunan heritage sehingga eksistensi mereka yang telah lama membentuk tengaran lingkungan binaan tidaklah selalu baik dan bahkan justru terancam.
Pelestarian/konservasi bukanlah romantisme masa lalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset lama, dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi.  Semangat dalam sistem pelestarian yang menyeluruh ini perlu mendasari berbagai upaya revitalisasi yang intinya adalah menghidupkan kembali suatu tempat yang memiliki aset potensial.  Tiupan kehidupan yang diwujudkan tidak hanya sebatas fisik seperti penyelesaian infrastruktur, dukungan utilitas, pemugaran ataupun pengem-bangan lainnya, namun juga perencanaan kegiatan baru yang kreatif dan inovatif yang telah disiapkan bersama dengan mekanisme pengelolaannya.
Sebagai upaya menuju perbaikan, revitalisasi Kota Tua Jakarta telah dicanangkan dengan berbagai perbaikan fisik maupun non fisik.  Target jangka pendek dan jangka panjang telah ditetapkan, bahkan beberapa sudah dilaksanakan.  Kegiatan dengan program berkelanjutan mulai tahap-tahap jangka pendek hingga jangka panjang, mulai dari ruang yang kecil hingga yang meluas. Revitalisasi terkait dengan upaya membangun dan menggalang kekuatan masyarakat lokal membentuk denyut kehidupan yang sehat yang mampu memberikan keuntungan sosial-budaya dan ekonomi bagi masyarakatnya.  Ruang terbuka sebagai salah satu elemen kota menjadi perhatian dalam rangka revitalisasi, baik dalam membentuk identitas kawasan maupun sebagai katalisator menuju keadaan yang lebih baik.
Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape) yang meliputi jalan, pedestrian, taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan perkotaan (Shirvani, 1985).  Sedangkan Prinz (1980) menyatakan ruang terbuka merupakan pembentuk struktur dasar sketsa sebuah kota.  Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk, berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan.  Secara garis besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front (area yang berbatasan air),  street (jalan) dan lost space.  Selanjutnya dalam konteks Jakarta Kota Tua, ruang terbuka yang dibahas lebih lanjut adalah ruang publik (umum).
Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi diantara individu didalamnya tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan (Jokomono, 2004)
Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut.  Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial, ekonomi dan lingkungan.  Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik, terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi.  Selain sosial juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi.  Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak dengan subyek.  Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi atau interaksi  dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang tersebut.
Ruang Terbuka Kawasan Pelestarian Kota Tua, Jakarta
Struktur kota pada kawasan Kota Tua secara umum terbentuk dengan aksis Utara-Selatan.  Hal ini terbentuk berdasarkan perkembangan kota sebagai kawasan perdagangan yang berbasis pelabuhan.  Ruang terbuka (open space) pada kawasan terbentuk dari Square (taman Fatahillah), Street (Jl Kali Besar Barat, Jl Kali Besar Timur, Jl Kali Besar Timur 1,2,3,4,5, Jl Pintu Besar, Jl Pos Kota, Jl Cengkeh), Waterfront (Kali Besar) dan Lost Space-ruang negatif (area dibawah jalan tol, rel kereta api, serta ruang antar gedung lainnya).
Secara umum ruang terbuka pada kawasan membentuk beberapa simpul besar diantaranya, a) depan stasiun Beos (Jakarta Kota) yang juga mampu berfungsi sebagai gerbang kawasan Kota Tua dari selatan (keberadaan stasiun kereta api, stasiun Busway dan aksis jalur utama kota) ; b) Taman Fatahillah, berupa plaza dengan pengembangan sebagai pusat kegiatan kawasan serta c) Kali Besar, berupa koridor sungai.  Upaya revitalisasi sudah mulai dilakukan dengan visi “Terciptanya kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta  sebagai daerah tujuan wisata budaya yang mengangkat nilai pelestarian dan memiliki manfaat ekonomi yang tinggi”.  Secara detail bentuk ruang terbuka beserta lokasi dan upaya-upaya revitalisasi dapat dilihat pada Tabel 1.
 Tabel 1.  Ruang terbuka Jakarta Kota dan Kegiatan Revitalisasi

Berdasarkan analisa pada tabel 1, kendala utama ruang terbuka pada kawasan ini adalah tidak menyatunya tipologi ruang terbuka dalam satu kesatuan yang kontinyu.  Terdapat beberapa penggalan/pemisah yang terbentuk dari lintasan jalur lalulintas yang padat.  Menurut Trancik (1986), terputusnya keterhubungan pedestrian antar destinasi penting membuat terganggunya frekuensi pejalan kaki yang tidak menyatu.  Dalam upaya pengembangan, langkah pertama yang penting dilakukan adalah mengidentifikasi pemisah dalam kontinuitas ruang dan selanjutnya diisi dengan bangunan yang membentuk keterhubungan dan kemungkinan ruang terbuka yang terhubung dimana hal ini akan mendorong terjadinya investasi.  Sebagai upaya memudahkan/menyambung sirkulasi antar kawasan adalah dibangunnya Jalan Penyeberangan Orang (JPO) melalui bawah tanah antara gedung ex Bank Exim menuju gedung Stasiun Jakarta Kota.


Kenyamanan lain yang perlu dikembangkan adalah jarak tempuh, secara keseluruhan antar ketiga destinasi utama kawasan masih dalam jarak pejalan kaki 400m (Llewelyn-Davies, 1992).  Berjalan kaki merupakan moda prima utama dari segala bentuk pergerakan dimana kualitas kemanusiaan dan nuansa warna kepribadian terungkap dan tercermin pada seseorang bergerak diatas kedua kakinya, selagi ia berintegrasi dengan masyarakat dan lingkungannya.
Jokomono (2004) mengamati ruang publik secara umum membentuk dua jenis yang dapat kita jumpai yaitu square (lapangan seperti plaza dan alun-alun) serta berbentuk linier yang merupakan perluasan fungsi jalan.  Di negara Eropa karakteristik ruang publik pada umumnya berbentuk square, sedangkan di Asia pada umumnya berbentuk linier.  Urban realm di kota Asia tidak terjadi di taman atau alun-alun seperti di kota-kota Eropa, melainkan di jalanan dan lorong-lorongnya.  Kehidupan sehari-hari berlangsung sejak dinihari hingga larut malam dijalanan kota-kota asia yang sibuk.  Bahkan hubungan sosialpun tak jarang terbentuk disisi jalanan.  Oleh karenanya jalan dan trotoirnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi kota-kota di Asia(Poerbo 2004).


Sumber : http://medha.lecture.ub.ac.id/2012/02/kajian-ruang-terbuka-kawasan-pelestarian-kota-tua-jakarta/

KONSERVASI ARSITEKTUR VILLA ISOLA BANDUNG, JAWA BARAT

Villa Isola, Bandung adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang (Jln. Setiabudhi).  Villa Isola adalah salah satu bangunan yang dibangun pada tahun 1932 bergaya Arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung, yang merupakan salah satu dari karya arsitek terkenal dari Belanda C.P Schoemaker.

VILLA ISOLA dibangun di atas tanah seluas ± 1 hektar yang mencakup: bangunan, taman, kolam, dan kebun anggur, tepat nya di Jl. Setia Budi No.229 atau Lembang Wegh (orang belanda biasa menyebutnya). VILLA ISOLA di desain oleh seorang arsitek ternama pada masa itu, yaitu : C.P WOLF SCHOEMAKER, gedung ini di bangun dengan waktu yang sangat singkat Oktober 1932 sampai Maret 1933. Schoemaker dikenal sebagai Arsitek ART DECO yang mahir menyelaraskan arsitektur eropa dengan lingkungan tropis dan keahliannya dalam memadukan elemen dekoratif kuno dengan arsitektur modern, sehingga dia dikenal sebagai arsitek terbaik pada masa itu.
Pada tahun 1954 Vila Isola pun dibeli pemerintah Indonesia seharga Rp 1.500.000. Vila Isola atau Bumi Siliwangi itu pun kemudian dijadikan gedung Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). PTPG ini merupakan cikal bakal dari IKIP atau UPI Bandung saat ini. Semenjak tahun 1954 Vila Isola menjadi kantor rektorat dan juga ruang kelas sekaligus. Tahun 1963 PTPG pun berubah menjadi IKIP Bandung. Sampai saat ini Rektor, Pembantu Rektor dan Sekretariat Universitas masih menempati Vila Isola.
Arsitektur Bangunan
Gedung ini berarsitektur modern dengan memasukkan konsep tradisional dengan filsafat arsitektur Jawa bersumbu kosmik utara-selatan seperti halnya Gedung Utama ITB dan Gedung Sate. Orientasi kosmik ini diperkuat dengan taman memanjang di depan gedung ini yang tegak lurus dengan sumbu melintang bangunan kearang Gunung Tangkuban Perahu. Bangunan berlantai tiga, dengan lantai terbawah lebih rendah dari permukaan jalan raya, disebabkan karena topografinya tidak rata. Ranah sekeliling luas terbuka, dibuat taman yang berteras-teras melengkung mengikuti permukaan tanahnya. Sudut bangunan melengkung-lengkung membentuk seperempat lingkaran. Secara keseluruhan bangunan dan taman bagaikan air bergelombang yang timbul karena benda jatuh dari atasnya, sehingga gedung ini merupakan penyesuaian arsitektural antara bangunan terhadap lingkungan.
Peletakkan Massa
Dalam meletakkan massa Villa Isola, Schoemaker menggunakan sumbu imajiner utara-selatan dengan arah utara menghadap Gunung Tangkuban Perahu dan arah selatan menghadap Kota Bandung. Penggunaan sumbu utara-selatan dengan berorientasi pada sesuatu yang sakral (gunung atau laut) merupakan orientasi kosmis masyarakat di Pulau Jawa. Hal yang sama diterapkan dalam pengolahan tapak Technische Hoogheschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung/ITB) yang berorientasi pada Gunung Tangkuban Perahu dan Kota Yogyakarta pada Gunung Merapi.

Villa Isola terletak di antara dua taman yang memiliki ketinggian berbeda. Taman di bagian selatan lebih rendah daripada taman di bagian utara. Taman di utara didesain dengan menghadirkan nuansa Eropa di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan kolam berbentuk persegi dengan patung marmer di tengahnya. Pada taman ini terdapat jalur yang merupakan as yang membagi taman menjadi dua bagian simetris. Mendekati bagian utara bangunan, akan terlihat tangga berbentuk setengah lingkaran yang titik pusatnya berada pada bangunan.
Fasad dan Interior
Fasad bangunan Villa Isola diperkaya dengan garis-garis lengkung horizontal. Hal ini merupakan ciri arsitektur Timur yang banyak terdapat pada candi di Jawa dan India. Pada saat-saat tertentu, garis dan bidang memberi efek bayangan dramatis pada bangunan. Seperti kebanyakan karya Schoemaker, Villa Isola memiliki bentuk simetris. Suatu bentuk berkesan formal dan berwibawa. Pintu utama terdapat pada bagian tengah bangunan, menghadap ke utara. Pintu ini dilindungi sebuah kanopi berupa dak beton berbentuk melengkung yang ditopang satu tiang pada ujungnya.
Bangunan ini ada tendensi horisontal dan vertikal yang ada pada arsitektur India yang banyak berpengaruh pada candi-candi di Jawa. Dikatakannya dalam arsitektur candi maupun bangunan tradisional, keindahan ornamen berupa garis garis molding akan lebih terlihat dengan adanya efek bayangan matahari yang merupakan kecerdikan arsitek masa lampau dalam mengeksploitasi sinar matahari tropis.

Schoemaker banyak memadukan falsafah arsitektur tradisional dengan modern dalam bangunan ini. Secara konsisten, ia menerapkannya mulai dari kesatuan dengan lingkungan, orientasi kosmik utara selatan, bentuk dan pemanfaatan sinar matahari untuk mendapat efek bayangan yang memperindah bangunan.  Seperti pintu masuk utara, pintu masuk selatan berhadapan langsung dengan taman. Pengolahan lahan, taman, dan elemen-elemennya turut mendukung keunikan Villa Isola terutama dari segi bentuk. Semuanya itu menyuarakan satu bentuk: bundar.



Sumber : http://meunbeatable.blogspot.com/2012/07/konservasi-arsitektur-villa-isola.html